Ikhlas Dan Niat Dalam Segala Perilaku Kehidupan
بسم الله الرحمن الرحيم
KAJIAN RIYADHUS SHALIHIN Bab Ikhlas Dan Niat Dalam Segala Perilaku Kehidupan |
ALLAH SWT. BERFIRMAN:
AYAT PERTAMA:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ (5)
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (Al-Bayyinah: 5)
Tambahan:
Mereka terpecah belah seperti itu padahal mereka dalam kitab-kitab mereka hanya diperintah untuk menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena menjalankan agama, dan juga diperintah agar melaksanakan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah aga-ma yang lurus dan benar agama Islam. Keikhlasan dalam beribadah dengan memurnikan niat demi mencari rida Allah dan menjauhkan diri dari kemusyrikan adalah salah satu syarat diterimanya ibadah.
Karena adanya perpecahan di kalangan mereka, maka pada ayat ini dengan nada mencerca Allah menegaskan bahwa mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah-Nya. Perintah yang ditujukan kepada mereka adalah untuk kebaikan dunia dan agama mereka, dan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Mereka juga diperintahkan untuk mengikhlaskan diri lahir dan batin dalam beribadah kepada Allah dan membersihkan amal perbuatan dari syirik sebagaimana agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim yang menjauhkan dirinya dari kekufuran kaumnya kepada agama tauhid dengan mengikhlaskan ibadah kepada Allah. Ikhlas adalah salah satu dari dua syarat diterimanya amal, dan itu merupakan pekerjaan hati. Sedang yang kedua adalah mengikuti sunah Rasulullah. Allah berfirman: Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), "Ikutilah agama Ibrahim yang lurus." (an-Nahl/16: 123)
Firman-Nya yang lain: Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus dan muslim. (Ali 'Imran/3: 67)
Mendirikan salat dalam ayat ini maksudnya adalah mengerjakannya terus-menerus setiap waktu dengan memusatkan jiwa kepada kebesaran Allah, untuk membiasakan diri tunduk kepada-Nya. Sedangkan yang dimaksud dengan mengeluarkan zakat yaitu membagi-bagikannya kepada yang berhak menerimanya sebagaimana yang telah ditentukan oleh Al-Qur'anul Karim.
Keterangan ayat di atas tentang keikhlasan beribadah, menjauhkan diri dari syirik, mendirikan salat, dan mengeluarkan zakat, adalah maksud dari agama yang lurus yang tersebut dalam kitab-kitab suci lainnya.
AYAT KEDUA:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ (37)
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kalianlah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kalian supaya kalian mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kalian. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. (Al-Hajj: 37)
Tambahan:
Allah menjelaskan bahwa daging hewan kurban dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, karena kurban itu bukan sesajen dan Allah tidak membutuhkan darah dan daging, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu, yaitu sikap kamu melawan rasa cinta terhadap harta dan kikir dengan berkurban, peduli, dan berbagi kepada fakir miskin dan duafa guna mendekatkan diri kepada Allah.
Demikianlah salah satu tujuan Dia menundukkannya untuk kamu dengan menjinakkan unta-unta itu untuk disembelih agar kamu mengagungkan Allah dengan mengumandangkan takbir ketika menyembelih hewan kurban itu atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu dengan mensyariatkan tata cara berkurban, tujuan, dan waktunya. Dan sampaikanlah, oleh kamu Muhammad kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik yang beriman, berkurban, serta peduli dan berbagi terhadap fakir miskin dan duafa dengan tujuan mengharap keridaan Allah.
Allah menegaskan lagi tujuan berkurban, ialah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari keridaan-Nya. Dekat kepada Allah dan keridaan-Nya tidak akan diperoleh dari daging-daging binatang yang disembelih itu dan tidak pula dari darahnya yang telah ditumpahkan, akan tetapi semuanya itu akan diperoleh bila kurban itu dilakukan dengan niat yang ikhlas, dilakukan semata-mata karena Allah dan sebagai syukur atas nikmat-nikmat yang tidak terhingga yang telah dilimpahkan-Nya kepada hamba-Nya.
Mujahid berkata, "Kaum Muslimin pernah bermaksud meniru perbuatan orang-orang musyrik Mekah. Jika menyembelih binatang kurban, mereka menebarkan daging-daging binatang itu disekitar Ka'bah, sedang darahnya mereka lumurkan ke dinding-dinding Ka'bah dengan maksud mencari keridaan tuhan-tuhan yang mereka sembah. Dengan turunnya ayat ini, maka kaum Muslimin mengurungkan maksudnya itu."
Allah menegaskan pula bahwa Dia telah memudahkan binatang kurban bagi manusia, mudah didapat, mudah dikuasai, dan mudah pula disembelih. Dengan kemudahan itu manusia seharusnya tambah mensyukuri nikmat yang telah dilimpahkan Allah kepada mereka serta mengagungkan-Nya, karena petunjuk-petunjuk yang telah diberikan-Nya.
Pada akhir ayat ini Allah memerintahkan kepada Rasulullah saw menyampaikan kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh, serta orang-orang yang melakukan kurban dengan ikhlas bahwa mereka akan memperoleh rida dan karunia-Nya.
Pada ayat yang lalu Allah memerintahkan agar menyebut nama-Nya di waktu menyembelih binatang kurban, sedang pada ayat ini diperintahkan membaca takbir di waktu menyembelih binatang kurban.
Kebanyakan ahli tafsir mengumpulkan kedua bacaan ini, yaitu dengan
menyebut nama Allah dan mengucapkan takbir.
Ucapan yang diucapkan itu ialah: Dengan nama Allah, Allah Maha Besar, dari
Engkau dan untuk Engkau!
Alasan dari mufasir itu ialah hadis Nabi Muhammad saw. Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata, "Nabi saw menyembelih pada hari raya kurban dua ekor domba yang mempunyai tanduk yang tajam dan berwarna putih kehitam-hitaman. Tatkala beliau menghadapkan keduanya ke kiblat, beliau mengucapkan, (artinya) "Sesungguhnya aku menghadapkan mukaku kepada yang menciptakan langit dan bumi dalam keadaan cenderung kepada agama yang benar," sampai kepada perkataan, 'dan aku adalah orang yang pertama kali yang menyerahkan diri. Wahai Tuhan! Dari Engkau untuk Engkau, dari Muhammad dan umatnya, dengan nama Allah dan Allah Mahabesar, kemudian beliau menyembelihnya." (Riwayat Abu Daud)
AYAT KETIGA:
قُلْ إِنْ تُخْفُوا مَا فِي صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَيَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (29)
Katakanlah, "Jika kalian menyembunyikan apa yang ada dalam hati kalian atau kalian melahirkannya, pasti Allah mengetahui." Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (Ali-Imran: 29)
Tambahan:
Ayat ini mengingatkan agar tidak seorang pun bersembunyi di balik kata-kata bohongnya untuk mengambil keuntungan pribadi, sebab semua pasti akan terungkap. Katakanlah, wahai Nabi Muhammad, "Jika kamu sembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu nyatakan, baik berupa ucapan maupun perbuatan, Allah pasti mengetahuinya dan akan membalasnya sesuai dengan apa yang dikatakan dan dilakukannya." Demikian, karena Dia mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.
Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, sehingga dengan kekuasaan-Nya itu Allah mampu mengungkap rahasia hamba-Nya dan membalas segala perbuatannya dengan seadil-adilnya.
Allah mengetahui segala apa yang terkandung di dalam hati seorang Muslim ketika ia mengadakan hubungan yang akrab dengan orang kafir. Apakah karena mereka suka kepada orang kafir itu, atau itu dilakukan karena maksud untuk menyelamatkan diri. Kalau seorang Muslim berbuat demikian karena memang cenderung kepada kekufuran, tentu Allah akan menyiksa mereka. Sedang kalau mereka melakukan itu untuk memelihara diri dan hati mereka tetap dalam iman, Allah akan mengampuni mereka dan tidak akan mengazab mereka atas pekerjaan yang tidak merusakkan agama dan umat. Allah memberi balasan kepada mereka menurut ilmu-Nya sendiri yang meliputi semua isi langit dan bumi.
Pada akhir ayat ini Allah mengatakan bahwa: "Allah Mahakuasa atas segala sesuatu". Sebab itu, janganlah kamu kaum Muslimin berani mendurhakai-Nya dan janganlah mengadakan kerja sama dengan musuh-musuh-Nya. Semua bentuk maksiat, baik yang tersembunyi maupun yang tampak senantiasa diketahui Allah dan Dia berkuasa memberi pembalasan atasnya.
Adapun haditsnya antara lain:
HADITS PERTAMA:
وعَنْ أَميرِ الْمُؤْمِنِينَ أبي حفْصٍ عُمرَ بنِ الْخَطَّابِ بْن نُفَيْل بْنِ عَبْد الْعُزَّى بن رياح بْن عبدِ اللَّهِ بْن قُرْطِ بْنِ رزاح بْنِ عَدِيِّ بْن كَعْبِ بْن لُؤَيِّ بن غالبٍ القُرَشِيِّ العدويِّ. رضي الله عنه، قال: سمعْتُ رسُولَ الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم يقُولُ «إنَّما الأَعمالُ بالنِّيَّات، وإِنَّمَا لِكُلِّ امرئٍ مَا نَوَى، فمنْ كانَتْ هجْرَتُهُ إِلَى الله ورَسُولِهِ فهجرتُه إلى الله ورسُولِهِ، ومنْ كاَنْت هجْرَتُه لدُنْيَا يُصيبُها، أَو امرَأَةٍ يَنْكحُها فهْجْرَتُهُ إلى ما هَاجَر إليْهِ» متَّفَقٌ على صحَّتِه. رواهُ إِماما المُحَدِّثِين: أَبُو عَبْدِ الله مُحَمَّدُ بنُ إِسْمَاعيل بْن إِبْراهيمَ بْن الْمُغيرة بْن برْدزْبَهْ الْجُعْفِيُّ الْبُخَارِيُّ، وَأَبُو الحُسَيْنِى مُسْلمُ بْن الْحَجَّاجِ بن مُسلمٍ القُشَيْريُّ النَّيْسَابُوريُّ رَضَيَ الله عَنْهُمَا في صَحيحيهِما اللَّذَيْنِ هما أَصَحُّ الْكُتُبِ الْمُصَنَّفَة.
Dari Amirul mu’minin Abu Hafs yaitu Umar bin Al-khaththab bin Nufail bin Abdul ‘Uzza bin Riah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin ‘Adi bin Ka’ab bin Luai bin Ghalib al-Qurasyi al-‘Adawi radhiyallahu anhu berkata: Saya mendengar Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Bahwasanya semua amal perbuatan itu dengan disertai niat-niatnya dan bahwasanya bagi setiap orang itu apa yang telah menjadi niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya itu kepada Allah dan RasulNya, maka hijrahnya itupun kepada Allah dan RasulNya. Dan barangsiapa yang hijrahnya itu untuk harta dunia yang hendak diperolehnya, ataupun untuk seorang wanita yang hendak dikawininya, maka hijrahnyapun kepada sesuatu yang dimaksud dalam hijrahnya itu.” (Muttafaq ‘alaih -disepakati atas keshahihannya hadits ini karena diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)
Muttafaq ‘alaih = diriwayatkan oleh dua orang imam ahli hadits yaitu Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Almughirah bin Bardizbah Alju’fi Al-Bukhari, -lazim disingkat dengan Bukhari saja- dan Abulhusain Muslim bin Alhajjaj bin Muslim Alqusyairi Annaisaburi, -lazim disingkat dengan Muslim saja- radhiallahu ‘anhuma dalam kedua kitab masing-masing yang keduanya itu adalah seshahih-shahihnya kitab hadits yang dikarangkan.
Tambahan:
Hadis ini memiliki kedudukan yang sangat agung, bahkan sebagian ulama menganggapnya sepertiga Islam. Seorang Muslim akan diberikan balasan pahala sesuai dengan niatnya dan sesuai dengan kadar kebenaran niat tersebut. Siapa saja yang amalannya ikhlas karena Allah, maka amalan itu akan diterima meskipun kecil dan sedikit dengan syarat harus sesuai dengan sunnah. Dan siapa saja yang beramal karena ingin dilihat orang lain, tidak ikhlas karena Allah, maka amalannya tersebut tertolak meskipun itu adalah amalan yang besar dan banyak.
Setiap amalan yang dilakukan bukan untuk mengharap keridaan Allah, baik yang diharapkannya itu adalah seorang wanita, harta, kemuliaan atau hal lainnya dari perkara-perkara duniawi; maka amalan tersebut akan tertolak, Allah tidak akan menerimanya, karena syarat diterima suatu amalan adalah dua, yaitu: amalan tersebut dilakukan dengan ikhlas karena Allah, dan harus dilakukan sesuai dengan petunjuk Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-.
HADITS KEDUA:
وَعَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أُمِّ عَبْدِ اللَّهِ عَائشَةَ رَضيَ الله عنها قالت: قال رسول الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم: «يَغْزُو جَيْشٌ الْكَعْبَةَ فَإِذَا كَانُوا ببيْداءَ مِنَ الأَرْضِ يُخْسَفُ بأَوَّلِهِم وَآخِرِهِمْ ». قَالَتْ : قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، كَيْفَ يُخْسَفُ بَأَوَّلِهِم وَآخِرِهِمْ وَفِيهِمْ أَسْوَاقُهُمْ وَمَنْ لَيْسَ مِنهُمْ ،؟ قَالَ : «يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِم وَآخِرِهِمْ ، ثُمَّ يُبْعَثُون عَلَى نِيَّاتِهِمْ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ : هذا لَفْظُ الْبُخَارِيِّ
Dari Ummul mu’minin yaitu ibunya -sebenarnya adalah bibinya- Abdullah yakni Aisyah radhiallahu ‘anha, berkata: Saya mendengar Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Ada sepasukan tentara yang hendak memerangi -menghancurkan- Ka’bah, kemudian setelah mereka berada di suatu padang dari tanah lapang lalu dibenamkan -dalam tanah tadi- dengan yang pertama sampai yang terakhir dari mereka semuanya.” Aisyah bertanya: “Saya berkata, wahai Rasulullah, bagaimanakah semuanya dibenamkan dari yang pertama sampai yang terakhir, sedang diantara mereka itu ada yang ahli pasaran -maksudnya para pedagang- serta ada pula orang yang tidak termasuk golongan mereka tadi -yakni tidak berniat ikut menggempur Ka’bah?” Rasulullah shalallahu alaihi wasalam menjawab: “Ya, semuanya dibenamkan dari yang pertama sampai yang terakhir, kemudian nantinya mereka itu akan diba’ats -dibangkitkan dari masing-masing kuburnya- sesuai niatnya masing-masing.” Disepakati atas hadits ini (Muttafaq ‘alaih) -yakni disepakati keshahihannya oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim-. Lafaz di atas adalah menurut Imam Bukhari.
Tambahan:
Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- mengabarkan tentang pasukan besar yang bakal menyerang Baitul Haram. Hingga saat mereka berada di gurun lapang yang luas, bumi pun terbelah menenggelamkan mereka. Ummul Mukminin Aisyah -raḍiyallāhu 'anhā- bertanya mengenai orang-orang yang bersama mereka hanya ingin berjual-beli/berdagang, tidak berniat buruk turut menyerang Ka'bah. Bersama mereka juga ada orang-orang yang ikut tanpa tahu rencana pasukan. Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- mengabarkan bahwa mereka semua akan turut dibenamkan karena berada bersama pasukan itu. Dan mereka akan dibangkitkan di akhirat, saat hari perhitungan sesuai niatnya. Masing-masing akan diperlakukan sesuai dengan tujuannya; baik dan buruknya.
HADITS KETIGA:
وعَنْ عَائِشَة رَضِيَ الله عنْهَا قَالَت قالَ النَّبِيُّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم : «لا هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ، وَلكنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ ، وَإِذَا اسْتُنْفرِتُمْ فانْفِرُوا» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .
وَمَعْنَاهُ : لا هِجْرَةَ مِنْ مَكَّةَ لأَنَّهَا صَارَتْ دَارَ إِسْلامٍ
Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, berkata: Nabi shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Tidak ada hijrah setelah pembebasan -Makkah-, tetapi yang ada ialah jihad dan niat. Maka dari itu, apabila engkau semua diminta untuk keluar -oleh imam untuk berjihad- maka keluarlah yakni berangkatlah.” (Muttafaq ‘alaih)
Maknanya: Tiada hijrah lagi dari Makkah, sebab saat itu Makkah telah menjadi perumahan atau Negara Islam.
Tambahan:
Abdullah bin Abbās -raḍiyallāhu 'anhumā- mengabarkan bahwa Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- berpidato pada hari pembebasan Makkah. Beliau bersabda, "Tidak ada hijrah," yakni dari Makkah, karena ia sudah menjadi negara Islam. Tetapi yang tersisa adalah jihad dan perintah bagi orang yang diminta keluar untuk berjihad, hendaknya ia keluar demi ketaatan kepada Allah, Rasul-Nya, dan pemerintahnya.
Selanjutnya beliau menyebutkan keharaman Makkah dan itu sudah ditetapkan sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Makkah tidak dihalalkan untuk seorang pun sebelum Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dan tidak dihalalkan untuk seorang pun setelahnya. Sesungguhnya ia hanya dihalalkan bagi beliau sesaat di siang hari, selanjutnya kembali menjadi haram. Kemudian beliau menyebutkan keharaman Makkah bahwa pohon tanah haram tidak boleh ditebang, binatang buruannya tidak boleh diganggu, barang temuannya tidak boleh dipungut kecuali oleh orang yang ingin mengumumkannya, dan tanaman serta rumputnya tidak boleh dibabat, tapi ada pengecualian yaitu tanaman Al-iżkhir untuk kepentingan penduduk Makkah.
HADITS KEEMPAT:
وعَنْ أبي عَبْدِ اللَّهِ جابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الأَنْصَارِيِّ رضِيَ الله عنْهُمَا قَالَ :كُنَّا مَع النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم في غَزَاة فَقَالَ : «إِنَّ بِالْمَدِينَةِ لَرِجَالاً مَا سِرْتُمْ مَسِيراً ، وَلاَ قَطَعْتُمْ وَادِياً إِلاَّ كانُوا مَعكُم حَبَسَهُمُ الْمَرَضُ» وَفِي روايَةِ : «إِلاَّ شَركُوكُمْ في الأَجْرِ» رَواهُ مُسْلِمٌ
ورواهُ البُخَارِيُّ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ :رَجَعْنَا مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ مَعَ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم فَقَالَ: «إِنَّ أَقْوَامَاً خلْفَنَا بالمدِينةِ مَا سَلَكْنَا شِعْباً وَلاَ وَادِياً إِلاَّ وَهُمْ مَعَنَا ، حَبَسَهُمْ الْعُذْرُ»
Dari Abu Abdillah yaitu Jabir bin Abdullah al-Anshari radhiallahu’anhuma, berkata: Kita berada beserta Nabi shalallahu alaihi wasalam dalam suatu peperangan -yaitu perang Tabuk- kemudian beliau shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Sesungguhnya di Madinah itu ada beberapa orang lelaki yang engkau semua tidak menempuh suatu perjalanan dan tidak pula menyeberangi suatu lembah, melainkan orang-orang tadi ada besertamu -yakni sama-sama memperoleh pahala-, mereka itu terhalang oleh sakit -maksudnya andaikata tidak sakit pasti ikut berperang.” Dalam suatu riwayat dijelaskan: “Melainkan mereka -yang tertinggal itu- berserikat denganmu dalam hal pahalanya.” (Riwayat Muslim)
Hadis sebagaimana di atas, juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Anas radhiyallahu anhu, Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Kita kembali dari perang Tabuk beserta Nabi shalallahu alaihi wasalam, lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya ada beberapa kaum yang kita tinggalkan di Madinah, tiada menempuh kita sekalian akan sesuatu lereng ataupun lembah, melainkan mereka itu bersama-sama dengan kita jua -jadi memperoleh pahala seperti yang berangkat untuk berperang itu-, mereka itu terhalang oleh sesuatu keuzuran.”
Tambahan:
Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- mengabarkan mengenai para pria yang tercegah ikut berjihad fi sabilillah -'Azza wa Jalla- karena sakit dan sebab uzur lain. Beliau -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- mengabarkan, bahwa tidaklah para tentara mujahid menempuh perjalanan, menyusuri lembah dan tebing melainkan dicatatkan untuk mereka pahala aktivitas tersebut.
HADITS KELIMA:
وَعَنْ أبي يَزِيدَ مَعْنِ بْن يَزِيدَ بْنِ الأَخْنسِ رضي الله عَنْهمْ، وَهُوَ وَأَبُوهُ وَجَدّهُ صَحَابِيُّونَ، قَال: كَانَ أبي يَزِيدُ أَخْرَجَ دَنَانِيرَ يَتصَدَّقُ بِهَا فَوَضَعَهَا عِنْدَ رَجُلٍ في الْمَسْجِدِ فَجِئْتُ فَأَخَذْتُهَا فَأَتيْتُهُ بِهَا . فَقَالَ : وَاللَّهِ مَا إِيَّاكَ أَرَدْتُ ، فَخَاصمْتُهُ إِلَى رسول اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم فَقَالَ: «لَكَ مَا نويْتَ يَا يَزِيدُ ، وَلَكَ مَا أَخذْتَ يَا مَعْنُ » رواه البخاريُّ
Dari Abu Yazid yaitu Ma’an bin Yazid bin Akhnas radhiallahu ‘anhum. Ia, ayahnya dan neneknya adalah termasuk golongan sahabat semua. Kata saya: “Ayahku, yaitu Yazid mengeluarkan beberapa dinar yang dengannya ia bersedekah, lalu dinar-dinar itu ia letakkan di sisi seorang di dalam masjid. Saya -yakni Ma’an anak Yazid- datang untuk mengambilnya, kemudian saya menemui ayahku dengan dinar-dinar tadi. Ayah berkata: “Demi Allah, bukan engkau yang kukehendaki -untuk diberi sedekah itu.” Selanjutnya hal itu saya adukan kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasalam, lalu beliau bersabda: “Bagimu adalah apa yang engkau niatkan hai Yazid -yakni bahwa engkau telah memperoleh pahala sesuai dengan niat sedekahmu itu- sedang bagimu adalah apa yang engkau ambil, hai Ma’an -yakni bahwa engkau boleh terus memiliki dinar-dinar tersebut, karena juga sudah diizinkan oleh orang yang ada di masjid, yang dimaksudkan oleh Yazid tadi.” (Riwayat Bukhari)
Tambahan:
Yazid bin Al-Akhnas mengeluarkan beberapa dirham kepada seseorang di mesjid agar ia bersedekah dengannya kepada orang-orang fakir. Lantas anaknya, Ma'in datang lalu mengambil dirham-dirham tersebut. Orang Yazid berkata kepada anaknya, "Aku tidak berkehendak untuk bersedekah dengan dirham-dirham ini kepadamu." Lalu keduanya pergi untuk mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-. Lalu Beliau bersabda, "Bagimu apa yang telah engkau niatkan wahai Yazid, karena engkau telah menyampaikan sedekah kepada salah satu kaum muslimin yang fakir. Dengan demikian, engkau harus memperoleh balasan atas niatmu, sedangkan bagimu apa yang telah engkau ambil." Sebab, engkau mengambilnya dengan cara yang sah dan anaknya termasuk orang yang layak mendapatkan sedekah itu.
HADITS KEENAM:
وَعَنْ أبي إِسْحَاقَ سعْدِ بْنِ أبي وَقَّاصٍ مَالك بن أُهَيْبِ بْنِ عَبْدِ مَنَافِ بْنِ زُهرةَ بْنِ كِلابِ بْنِ مُرَّةَ بْنِ كعْبِ بنِ لُؤىٍّ الْقُرشِيِّ الزُّهَرِيِّ رضِي اللَّهُ عَنْهُ، أَحدِ الْعَشرة الْمَشْهودِ لَهمْ بِالْجَنَّة ، رضِي اللَّهُ عَنْهُم قال: « جَاءَنِي رسولُ الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم يَعُودُنِي عَامَ حَجَّة الْوَداعِ مِنْ وَجعٍ اشْتدَّ بِي فَقُلْتُ : يا رسُول اللَّهِ إِنِّي قَدْ بلغَ بِي مِن الْوجعِ مَا تَرى ، وَأَنَا ذُو مَالٍ وَلاَ يَرثُنِي إِلاَّ ابْنةٌ لِي ، أَفأَتصَدَّق بثُلُثَىْ مالِي؟ قَالَ: لا ، قُلْتُ : فالشَّطُر يَارسوُلَ الله ؟ فقالَ : لا، قُلْتُ فالثُّلُثُ يا رسول اللَّه؟ قال: الثُّلثُ والثُّلُثُ كثِيرٌ أَوْ كَبِيرٌ إِنَّكَ إِنْ تَذرَ وَرثتك أغنِياءَ خَيْرٌ مِن أَنْ تذرهُمْ عالَةً يَتكفَّفُونَ النَّاس ، وَإِنَّكَ لَنْ تُنفِق نَفَقةً تبْتغِي بِهَا وجْهَ الله إِلاَّ أُجرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى ما تَجْعلُ في امْرَأَتكَ قَال: فَقلْت: يَا رَسُولَ الله أُخَلَّفَ بَعْدَ أَصْحَابِي؟ قَال: إِنَّك لن تُخَلَّفَ فتعْمَل عَمَلاً تَبْتغِي بِهِ وَجْهَ الله إلاَّ ازْددْتَ بِهِ دَرجةً ورِفعةً ولعَلَّك أَنْ تُخلَّف حَتَى ينْتفعَ بكَ أَقَوامٌ وَيُضَرَّ بك آخرُونَ. اللَّهُمَّ أَمْضِ لأِصْحابي هجْرتَهُم، وَلاَ ترُدَّهُمْ عَلَى أَعْقَابِهم، لَكن الْبائسُ سعْدُ بْنُ خـوْلَةَ « يرْثى لَهُ رسولُ الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم» أَن مَاتَ بمكَّةَ » متفقٌ عليه
Dari Abu Ishak, yakni Sa’ad bin Abu Waqqash, yakni Malik bin Uhaib bin Abdu Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luai al-Qurasyi az-Zuhri radhiyallahu anhu, yaitu salah satu dari sepuluh orang yang diberi kesaksian akan memperoleh syurga radhiallahu ‘anhum, katanya: Rasulullah shalallahu alaihi wasalam datang padaku untuk menjengukku pada tahun haji wada’ -yakni haji Rasulullah shalallahu alaihi wasalam yang terakhir dan sebagai haji pamitan- karena kesakitan yang menimpa diriku, lalu saya berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya saja kesakitanku ini telah mencapai sebagaimana keadaan yang Tuan ketahui, sedang saya adalah seorang yang berharta dan tiada yang mewarisi hartaku itu melainkan seorang puteriku saja. Maka itu apakah dibenarkan sekiranya saya bersedekah dengan dua pertiga hartaku?” Beliau menjawab: “Tidak dibenarkan.” Saya berkata pula: “Separuh hartaku ya Rasulullah?” Beliau bersabda: “Tidak dibenarkan juga.” Saya berkata lagi: “Sepertiga, bagaimana ya Rasulullah?” Beliau lalu bersabda: “Ya, sepertiga boleh dan sepertiga itu sudah banyak atau sudah besar jumlahnya. Sesungguhnya jikalau engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya, maka itu adalah lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta pada orang banyak. Sesungguhnya tiada sesuatu nafkah yang engkau berikan dengan niat untuk mendapatkan keridhaan Allah, melainkan engkau pasti akan diberi pahalanya, sekalipun sesuatu yang engkau berikan untuk makanan istrimu.” Abu Ishak meneruskan uraiannya: Saya berkata lagi: “Apakah saya ditinggalkan -di Makkah- setelah kepulangan sahabat-sahabatku itu?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya engkau itu tiada ditinggalkan, kemudian engkau melakukan suatu amalan yang engkau maksudkan untuk mendapatkan keridhaan Allah, melainkan engkau malahan bertambah derajat dan keluhurannya. Barangkali sekalipun engkau ditinggalkan -karena usia masih panjang lagi-, tetapi nantinya akan ada beberapa kaum yang dapat memperoleh kemanfaatan dari hidupmu itu -yakni sesama kaum Muslimin, baik manfaat duniawiyah atau ukhrawiyah- dan akan ada kaum lain-lainnya yang memperoleh bahaya dengan sebab masih hidupmu tadi -yakni kaum kafir, sebab menurut riwayat Abu Ishak ini tetap hidup sampai dibebaskannya Irak dan lain-lainnya, lalu diangkat sebagai gubernur di situ dan menjalankan hak dan keadilan. Ya Allah, sempurnakanlah pahala untuk sahabat-sahabatku dalam hijrah mereka itu dan janganlah engkau balikkan mereka pada tumit-tumitnya -yakni menjadi murtad kembali sepeninggalnya nanti. Tetapi yang miskin -rugi- itu ialah Sa’ad bin Khaulah.” Rasulullah shalallahu alaihi wasalam merasa sangat kasihan padanya sebab matinya di Makkah. (Muttafaq ‘alaih)
Tambahan:
Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini:
1. Rasulullah (ﷺ), menurut kebiasaan beliau, beliau itu suka menjenguk orang yang sakit. Hal ini merupakan akhlak mulia yang dimiliki Nabi (ﷺ) yang penuh kasih sayang ini. Beliau tidak memandang dirinya sebagai Nabi yang mulia (ketika menjenguk), beliau menjenguk Sa’ad yang merupakan umatnya.
2. Orang yang menjenguk orang sakit, bisa menghilangkan sifat-sifat yang tidak disukai (dari orang yang dijenguk maupun yang menjenguk). Ketika seseorang menjenguk orang sakit, bisa jadi yang awalnya mereka bermusuhan, hatinya menjadi luluh satu sama lain.
3. Dalam menjenguk orang sakit, terdapat faedah bagi orang yang menjenguk, yakni dapat mengingatkan pada kenikmatan yang diberi oleh Allah dan mengutarakan rasa syukur terhadap nikmat sehat yang diberikan oleh Allah Ta’ala. Ketika bersyukur kepada Allah, maka Allah Yang Maha Pemurah akan tambahkan nikmat itu menjadi semakin banyak.
4. Orang yang suka menjenguk orang sakit akan meningkatkan hubungan baik dengan orang yang dijenguk dan menimbulkan cinta kasih di antara keduanya. Oleh karena itu, ajaran Islam yang mulia menganjurkan amalan ini.
5. Bagi siapa yang ingin bederma dan mendapatkan pahala karenanya, maka harus mengikhlaskan niatnya untuk mengharapkan rida Allah Ta’ala.
6. Diperbolehkan mengumpulkan harta, dengan syarat diperoleh dengan cara yang halal. Hal ini tidak termasuk penimbunan harta, selagi pemiliknya menunaikan haknya, yaitu zakat.
7. Wasiat harta yang diberikan kepada selain ahli waris tidak boleh melebihi sepertiga dari harta warisan.
8. Amal kebaikan dan ketaatan yang tidak bisa dilakukan, bisa diganti dengan yang lainnya dalam hal perolehan pahala dan balasan.
9. Anjuran untuk menyambung silaturahmi keluarga dan berbuat baik kepada kerabat. Menyambung silaturahmi kepada keluarga yang lebih dekat lebih diutamakan dari pada keluarga jauh.
10. Larangan memindahkan mayit dari negerinya ke negeri lain. Jika hal ini disyariatkan, tentu Rasulullah (ﷺ) akan memerintahkan untuk memindahkan jenazah Sa’id bin Khaulah.
11. Mencegah dari sarana menuju keburukan, hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah (ﷺ) “Dan janganlah engkau mengembalikan mereka ke tempat mereka ditinggalkan,” agar tidak ada seorang pun menjadikan sakit sebagai sarana untuk mencintai negeri dan kampung halaman yang telah ditinggalkannya (karena hijrah).
12. Kewajiban memperhatikan kemaslahatan ahli waris dan memelihara keadilan di antara mereka.
HADITS KETUJUH:
وَعَنْ أبي هُريْرة عَبْدِ الرَّحْمن بْنِ صخْرٍ رضي الله عَنْهُ قال : قالَ رَسُولُ الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم: «إِنَّ الله لا يَنْظُرُ إِلى أَجْسامِكْم ، وَلا إِلى صُوَرِكُمْ ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعمالِكُمْ » رواه مسلم
Dari Abu Hurairah, yaitu Abdur Rahman bin Shakhr radhiyallahu anhu, katanya: Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu tidak melihat kepada tubuh-tubuhmu, tidak pula kepada bentuk rupamu, tetapi Dia melihat kepada hati-hatimu sekalian.” (Riwayat Muslim)
Tambahan:
Sesungguhnya Allah tidak akan memberi pahala dan tidak akan memberikan kalian ganjaran berdasarkan indahnya fisik dan rupa kalian, dan tidak pula kedekatan dari-Nya tercapai dengan hal itu. Tetapi, ia dicapai dengan hal yang ada dalam hati kalian berupa keikhlasan, ketulusan, dan berbagai amal saleh yang kalian kerjakan.
Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini:
1. Memperhatikan keadaan hati dan sifat-sifatnya, meluruskan niat-niatnya, serta membersihkannya dari semua sifat tercela.
2. Pahala perbuatan didasarkan pada keikhlasan dan niat baik yang ada dalam hati.
3. Perhatian kepada upaya memperbaiki hati dan sifat-sifatnya lebih didahulukan daripada amal anggota badan, karena amalan hatilah yang akan menentukan kesahihan amalan agama, sementara tidak akan sah amal yang dikerjakan oleh orang kafir.
4. Tanggung jawab individu terhadap niat dan amalnya; ini yang menuntutnya untuk mengarahkan amalan hati kepada semua yang akan mendatangkan rida Allah dan Rasul-Nya.
HADITS KEDELAPAN:
وعَنْ أبي مُوسَى عبْدِ اللَّهِ بْنِ قَيْسٍ الأَشعرِيِّ رضِي الله عنه قالَ: سُئِلَ رسول الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم عَنِ الرَّجُلِ يُقاتِلُ شَجَاعَةً، ويُقاتِلُ حَمِيَّةً ويقاتِلُ رِياءً، أَيُّ ذلِك في سَبِيلِ اللَّهِ؟ فَقَالَ رسول الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم : «مَنْ قاتَلَ لِتَكُون كلِمةُ اللَّهِ هِي الْعُلْيَا فهُوَ في سَبِيلِ اللَّهِ» مُتَّفَقٌ عليه
Dari Abu Musa, yakni Abdullah bin Qais al-Asy’ari radhiyallahu anhu, katanya: “Rasulullah shalallahu alaihi wasalam ditanya perihal seorang yang berperang dengan tujuan menunjukkan keberanian, ada lagi yang berperang dengan tujuan kesombongan -ada yang artinya kebencian- ada pula yang berperang dengan tujuan pamer -menunjukkan pada orang-orang lain karena ingin berpamer. Manakah diantara semua itu yang termasuk dalam jihad fisabilillah? Rasulullah shalallahu alaihi wasalam menjawab: “Barangsiapa yang berperang dengan tujuan agar kalimat Allah -Agama Islam- itulah yang luhur, maka ia disebut jihad fisabilillah.” (Muttafaq ‘alaih)
Tambahan:
Seorang lelaki pernah bertanya kepada Nabi -șallāhu 'alaihi wa sallam- mengenai orang yang memerangi musuh agama, tetapi motivasinya berperang adalah untuk memperlihatkan keberanian dan keperkasaan kepada manusia; dan orang yang berperang karena ingin membalas dendam untuk kaumnya atau tanah airnya; dan yang ketiga berperang karena ria di hadapan manusia bahwa dia termasuk pejuang di jalan Allah yang pantas memperoleh pujian dan penghormatan. Siapakah dari ketiga orang itu yang termasuk pejuang di jalan Allah? Nabi -șallāhu 'alaihi wa sallam- menjawab dengan ungkapan ringkas dan makna yang komprehensif, yaitu bahwa orang yang berjuang agar kalimat Allah menjadi tinggi, maka dialah pejuang di jalan Allah. Selain itu, tidak dikatakan berperang di jalan Allah, karena dia berperang untuk tujuan lain. Amal-amal itu tergantung kepada niat dalam kebaikan dan kerusakannya. Ini bersifat umum dalam semua amal. Dengan demikian, dampak dari amal itu tergantung niat dari segi baik dan rusaknya, dan dalil mengenai makna ini banyak sekali.
HADITS KESEMBILAN:
وعن أبي بَكْرَة نُفيْعِ بْنِ الْحارِثِ الثَّقفِي رَضِي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قال: «إِذَا الْتقَى الْمُسْلِمَانِ بسيْفيْهِمَا فالْقاتِلُ والمقْتُولُ في النَّارِ» قُلْتُ : يَا رَسُول اللَّهِ ، هَذَا الْقَاتِلُ فمَا بَالُ الْمقْتُولِ ؟ قَال: «إِنَّهُ كَانَ حَرِيصاً عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ» متفقٌ عليه
Dari Abu Bakrah, yakni Nufai’ bin Haris as-Tsaqafi radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi shalallahu alaihi wasalam bersabda : “Apabila dua orang Muslim berhadap-hadapan dengan membawa masing-masing pedangnya -dengan maksud ingin berbunuh-bunuhan- maka yang membunuh dan yang terbunuh itu semua masuk di dalam neraka.” Saya bertanya: “Ini yang membunuh -patut masuk neraka- tetapi bagaimanakah halnya orang yang terbunuh -yakni mengapa ia masuk neraka pula?” Rasulullah shalallahu alaihi wasalam menjawab: “Karena sesungguhnya orang yang terbunuh itu juga ingin sekali hendak membunuh kawannya.” (Muttafaq ‘alaih)
Tambahan:
Pelajaran dari hadits ini:
1. Orang yang bertekad melakukan maksiat, dan sudah berusaha untuk melakukannya, maka ia mendapat dosa, baik kemaksiatan tersebut sudah ia lakukan atau belum,. Hal ini jika Allah SWT tidak memaafkannya. Namun jika kemaksiatan itu hanya sekedar terlintas di pikirannya, tidak terhitung sebagai dosa.
2. Peringatan dari Allah SWT kepada kaum Muslimin agar tidak saling membunuh karena itu hal yang akan menjadikan kaum muslimin lemah, dan juga mengundang kemarahan Allah SWT.
HADITS KESEPULUH:
وَعَنْ أبي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عنه قال: قال رسول الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم : «صَلاَةُ الرَّجُلِ في جماعةٍ تزيدُ عَلَى صَلاَتِهِ في سُوقِهِ وَبَيْتِهِ بضْعاً وعِشْرينَ دَرَجَةً ، وذلِكَ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ، ثُمَّ أَتَى الْمَسْجِد لا يُرِيدُ إِلاَّ الصَّلاَةَ ، لا يَنْهَزُهُ إِلاَّ الصَّلاَةُ ، لَمْ يَخطُ خُطوَةً إِلاَّ رُفِعَ لَهُ بِها دَرجةٌ ، وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطيئَةٌ حتَّى يَدْخلَ الْمَسْجِدَ ، فَإِذَا دخل الْمَسْجِدَ كانَ في الصَّلاَةِ مَا كَانَتِ الصَّلاةُ هِيَ التي تحبِسُهُ ، وَالْمَلائِكَةُ يُصَلُّونَ عَلَى أَحَدكُمْ ما دام في مَجْلِسهِ الَّذي صَلَّى فِيهِ ، يقُولُونَ : اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ ، اللَّهُمَّ تُبْ عَلَيْهِ ، مالَمْ يُؤْذِ فِيهِ ، مَا لَمْ يُحْدِثْ فِيهِ » متفقٌ عليه ،وهَذَا لَفْظُ مُسْلمٍ . وَقَوْلُهُ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم : «ينْهَزُهُ » هُوَ بِفتحِ الْياءِ وَالْهاءِ وَبالزَّاي : أَي يُخْرِجُهُ ويُنْهِضُهُ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, katanya: “Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Shalatnya seorang lelaki dengan berjamaah itu melebihi shalatnya di pasar atau rumahnya -secara sendirian atau munfarid- dengan duapuluh lebih -tiga sampai sembilan tingkat derajatnya. Yang sedemikian itu ialah karena apabila seorang itu berwudhu’ dan memperbaguskan cara wudhu’nya, kemudian mendatangi masjid, tidak menghendaki ke masjid itu melainkan hendak bershalat, tidak pula ada yang menggerakkan kepergiannya ke masjid itu kecuali hendak shalat, maka tidaklah ia melangkahkan kakinya selangkah kecuali ia dinaikkan tingkatnya sederajat dan karena itu pula dileburlah satu kesalahan daripadanya -yakni tiap selangkah tadi- sehingga ia masuk masjid. Apabila ia telah masuk ke dalam masjid, maka ia memperoleh pahala seperti dalam keadaan shalat, selama memang shalat itu yang menyebabkan ia bertahan di dalam masjid tadi, juga para malaikat mendoakan untuk mendapatkan kerahmatan Tuhan pada seorang dari engkau semua, selama masih berada di tempat yang ia bershalat disitu. Para malaikat itu berkata: “Ya Allah, kasihanilah orang ini; wahai Allah, ampunilah ia; ya Allah, terimalah taubatnya.” Hal sedemikian ini selama orang tersebut tidak berbuat buruk -yakni berkata-kata soal keduniaan, mengumpat orang lain, memukul dan lain-lain- dan juga selama ia tidak berhadas -yakni tidak batal wudhu’nya. (Muttafaq ‘alaih)
Dan yang tersebut di atas adalah menurut lafaznya Imam Muslim. Sabda Nabi shalallahu alaihi wasalam: Yanhazu dengan fathahnya ya’ dan ha’ serta dengan menggunakan zai, artinya: mengeluarkannya dan menggerakkannya.
Tambahan:
Apabila seseorang salat di masjid berjemaah, maka salat ini lebih utama dari salat di rumahnya atau di pasarnya sebanyak duapuluh tujuh kali. Sebab, salat berjemaah merupakan bentuk melaksanakan apa yang diwajibkan oleh Allah berupa salat berjemaah. Setelah itu disebutkan sebabnya, yaitu bahwa seseorang apabila wudu di rumahnya lalu menyempurnakan wudunya. Selanjutnya keluar dari rumahnya ke masjid. Tidak ada yang membuatnya keluar kecuali salat. Tidaklah ia melangkahkan satu langkah melainkan Allah mengangkat dengannya satu derajat dan menggugurkan satu dosa, baik tempatnya sangat dekat dari masjid atau jauh. Ini adalah keutamaan yang besar sampai dia masuk masjid. Apabila sudah masuk masjid lalu mendirikan salat yang telah ditentukan untuknya (tahiyyatul masjid dan lainnya), lalu duduk menanti salat (wajib), maka ia terhitung dalam salat selama menunggu salat itu. Ini juga adalah kenikmatan besar. Seandainya engkau menunggu salat dalam waktu yang lama dan engkau duduk tanpa melaksanakan salat setelah melaksanakan salat tahiyatul masjid - sesuai kehendak Allah, Dia menghitung hal itu sebagai pahala salat untukmu. Para malaikat pun mendoakannya selama dia ada di majlis tempatnya melaksanakan salat. Mereka mengucapkan, "Ya Allah, selamatkanlah dia. Ya Allah, ampunilah ia. Ya Allah, rahmatilah dia. Ya Allah, terimalah tobatnya." Ini juga merupakan keutamaan yang besar bagi orang yang hadir dengan niat tersebut dan melakukan berbagai amalan itu.
HADITS KESEBELAS:
وَعَنْ أبي الْعَبَّاسِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلب رَضِي الله عنهما، عَنْ رسول الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم ، فِيما يَرْوى عَنْ ربِّهِ ، تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ : «إِنَّ الله كتَبَ الْحسناتِ والسَّيِّئاتِ ثُمَّ بَيَّنَ ذلك : فمَنْ همَّ بِحَسَنةٍ فَلمْ يعْمَلْهَا كتبَهَا اللَّهُ عِنْدَهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عِنْدَهُ حسنةً كامِلةً وَإِنْ همَّ بهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ عَشْر حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمَائِةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كثيرةٍ ، وَإِنْ هَمَّ بِسيِّئَةِ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كامِلَةً ، وَإِنْ هَمَّ بِها فعَمِلهَا كَتَبَهَا اللَّهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً» متفقٌ عليه
Dari Abul Abbas, yaitu Abdullah bin Abbas bin Abdul Muththalib, radhiallahu ‘anhuma dari Rasulullah shalallahu alaihi wasalam dalam suatu uraian yang diceritakan dari Tuhannya Tabaraka wa Ta’ala -Hadis semacam ini disebut hadits Qudsi- bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu mencatat semua kebaikan dan keburukan, kemudian menerangkan yang sedemikian itu -yakni mana-mana yang termasuk hasanah dan mana-mana yang termasuk sayyiah. Maka barangsiapa yang berkehendak mengerjakan kebaikan, kemudian tidak jadi melakukannya, maka dicatatlah oleh Allah yang Maha Suci dan Tinggi sebagai suatu kebaikan yang sempurna di sisiNya, dan barangsiapa berkehendak mengerjakan kebaikan itu kemudian jadi melakukannya, maka dicatatlah oleh Allah sebagai sepuluh kebaikan di sisi-Nya, sampai menjadi tujuh ratus kali lipat, bahkan dapat sampai menjadi berganda-ganda yang amat banyak sekali. Selanjutnya barangsiapa yang berkehendak mengerjakan keburukan kemudian tidak jadi melakukannya maka dicatatlah oleh Allah Ta’ala sebagai suatu kebaikan yang sempurna di sisiNya dan barangsiapa yang berkehendak mengerjakan keburukan itu kemudian jadi melakukannya, maka dicatatlah oleh Allah Ta’ala sebagai satu keburukan saja di sisiNya.” (Muttafaq ‘alaih)
Tambahan:
Dalam hadis yang agung ini dijelaskan bahwa niat berbuat kebaikan disertai keinginan keras untuk melakukannya dicatat sebagai satu kebaikan meskipun tidak dikerjakan. Jika kebaikan itu dilaksanakan maka kebaikan itu dilipat menjadi sepuluh kali lipat, bahkan sampai berlipat-lipat. Siapa yang berniat melakukan keburukan lalu meninggalkannya karena Allah, Allah pun mencatatnya sebagai satu kebaikan. Siapa yang melakukan satu keburukan maka dicatat baginya satu kejahatan, dan Siapa yang berniat melakukan kejahatan lalu meninggalkannya, maka hal itu tidak dicatat sama sekali. Semua ini menunjukkan luasnya rahmat Allah -'Azza wa Jalla-, karena Dia memberikan kemuliaan kepada mereka dengan kemuliaan yang besar dan kebaikan yang melimpah.
Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini:
1. Menjelaskan karunia besar Allah kepada umat ini. Seandainya bukan karena apa yang disebutkan dalam hadis ini niscaya kemalangan dirinya akan besar, karena perbuatan buruk hamba lebih banyak dilakukannya.
2. Para malaikat juga mencatat amalan hati, ini berbeda dengan pandangan sebagian orang bahwa malaikat tidak mencatat kecuali amalan yang lahir saja.
3. Menetapkan adanya pencatatan kebaikan dan keburukan dalam setiap kejadian serta pahala dan dosa, berdasarkan sabda Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Sesungguhnya Allah mencatat kebaikan dan keburukan."
4. Kebaikan-kebaikan serta keburukan-keburukan yang terjadi telah ditentukan dan telah ditulis serta telah menjadi ketetapan, sedangkan hamba melakukannya dengan kehendak mereka sesuai dengan yang tertulis untuk mereka.
5. Menetapkan perbuatan-perbuatan Allah -'Azza wa Jalla-, berdasarkan sabda beliau, "Mencatat." Sama saja, apakah kita mengatakan Allah memberi perintah agar ditulis, ataupun Allah -'Azza wa Jalla- yang menulis sendiri berdasarkan hadis lain yang ada dalam masalah itu. Misalnya, sabda Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Allah menulis Taurat dengan Tangan-Nya." Tanpa kita serupakan dengan makhluk dan tanpa ditakwil.
6. Perhatian Allah -'Azza wa Jalla- kepada makhluk karena Dia menulis kebaikan dan keburukan mereka secara takdir dan syariat.
7. Memperhitungkan niat dalam amal serta dampaknya.
8. Membuat perincian setelah menyebut masalah secara global merupakan bagian dari sastra dan kefasihan.
9. Keingingan melakukan kebaikan akan tercatat sebagai satu kebaikan sempurna.
10. Kemurahan dan kasih sayang Allah serta kebaikan-Nya karena orang yang berkeinginan melakukan kebaikan akan Allah tulis sebagai satu kebaikan sekalipun tidak jadi dia kerjakan. Sedangkan orang yang meniatkan satu keburukan lalu dia meninggalkannya maka ditulis baginya satu kebaikan. Yang dimaksud dengan "hamm" adalah tekad, bukan sebatas lintasan pikiran.
HADITS KEDUA BELAS:
وعن أبي عَبْد الرَّحْمَن عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخطَّابِ، رضي الله عنهما قال: سَمِعْتُ رسول الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم يَقُولُ: «انْطَلَقَ ثَلاَثَةُ نفر مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَتَّى آوَاهُمُ الْمبِيتُ إِلَى غَارٍ فَدَخَلُوهُ، فانْحَدَرَتْ صَخْرةٌ مِنَ الْجبلِ فَسَدَّتْ عَلَيْهِمْ الْغَارَ، فَقَالُوا : إِنَّهُ لا يُنْجِيكُمْ مِنْ الصَّخْرَةِ إِلاَّ أَنْ تَدْعُوا الله تعالى بصالح أَعْمَالكُمْ .قال رجلٌ مِنهُمْ : اللَّهُمَّ كَانَ لِي أَبَوانِ شَيْخَانِ كَبِيرانِ ، وكُنْتُ لاَ أَغبِقُ قبْلهَما أَهْلاً وَلا مالاً فنأَى بي طَلَبُ الشَّجرِ يَوْماً فَلمْ أُرِحْ عَلَيْهمَا حَتَّى نَامَا فَحَلبْت لَهُمَا غبُوقَهمَا فَوَجَدْتُهُمَا نَائِميْنِ ، فَكَرِهْت أَنْ أُوقظَهمَا وَأَنْ أَغْبِقَ قَبْلَهُمَا أَهْلاً أَوْ مَالاً، فَلَبِثْتُ وَالْقَدَحُ عَلَى يَدِى أَنْتَظِرُ اسْتِيقَاظَهُما حَتَّى بَرَقَ الْفَجْرُ وَالصِّبْيَةُ يَتَضاغَوْنَ عِنْدَ قَدَمى فَاسْتَيْقظَا فَشَربَا غَبُوقَهُمَا . اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَفَرِّجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ مِنْ هَذِهِ الصَّخْرَة ، فانْفَرَجَتْ شَيْئاً لا يَسْتَطيعُونَ الْخُرُوجَ مِنْهُ .قال الآخر : اللَّهُمَّ إِنَّهُ كَانتْ لِيَ ابْنَةُ عمٍّ كانتْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيَّ » وفي رواية : « كُنْتُ أُحِبُّهَا كَأَشد مَا يُحبُّ الرِّجَالُ النِّسَاءِ ، فَأَرَدْتُهَا عَلَى نَفْسهَا فَامْتَنَعَتْ مِنِّى حَتَّى أَلَمَّتْ بِهَا سَنَةٌ مِنَ السِّنِينَ فَجَاءَتْنِى فَأَعْطَيْتُهِا عِشْرينَ وَمِائَةَ دِينَارٍ عَلَى أَنْ تُخَلِّىَ بَيْنِى وَبَيْنَ نَفْسِهَا ففَعَلَت ، حَتَّى إِذَا قَدَرْتُ عَلَيْهَا » وفي رواية : « فَلَمَّا قَعَدْتُ بَيْنَ رِجْليْهَا ، قَالتْ : اتَّقِ الله ولا تَفُضَّ الْخاتَمَ إِلاَّ بِحَقِّهِ ، فانْصَرَفْتُ عَنْهَا وَهِىَ أَحَبُّ النَّاسِ إِليَّ وَتركْتُ الذَّهَبَ الَّذي أَعْطَيتُهَا ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعْلتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ ، فانفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ غَيْرَ أَنَّهُمْ لا يَسْتَطِيعُونَ الْخُرُوجَ مِنْهَا .وقَالَ الثَّالِثُ : اللَّهُمَّ إِنِّي اسْتَأْجَرْتُ أُجرَاءَ وَأَعْطَيْتُهمْ أَجْرَهُمْ غَيْرَ رَجُلٍ وَاحِدٍ تَرَكَ الَّذي لَّه وذهب فثمَّرت أجره حتى كثرت منه الأموال فجائنى بعد حين فقال يا عبد الله أَدِّ إِلَيَّ أَجْرِي ، فَقُلْتُ : كُلُّ مَا تَرَى منْ أَجْرِكَ : مِنَ الإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَم وَالرَّقِيق فقال: يا عَبْدَ اللَّهِ لا تَسْتهْزيْ بي ، فَقُلْتُ : لاَ أَسْتَهْزيُ بك، فَأَخَذَهُ كُلَّهُ فاسْتاقَهُ فَلَمْ يَتْرُكْ مِنْه شَيْئاً ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتغَاءَ وَجْهِكَ فافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ ، فَانْفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ فخرَجُوا يَمْشُونَ » متفقٌ عليه
Dari Abu Abdur Rahman, yaitu Abdullah bin Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhuma, katanya: Saya mendengar Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Ada tiga orang dari golongan orang-orang sebelummu sama berangkat berpergian, sehingga terpaksalah untuk menempati sebuah gua guna bermalam, kemudian merekapun memasukinya. Tiba-tiba jatuhlah sebuah batu besar dari gunung lalu menutup gua itu atas mereka. Mereka berkata bahwasanya tidak ada yang dapat menyelamatkan engkau semua dari batu besar ini melainkan jikalau engkau semua berdoa kepada Allah Ta’ala dengan menyebutkan perbuatanmu yang baik-baik. Seorang dari mereka itu berkata: “Ya Allah. Saya mempunyai dua orang tua yang sudah tua-tua serta lanjut usianya dan saya tidak pernah memberi minum kepada siapapun sebelum keduanya itu, baik kepada keluarga ataupun hamba sahaya. Kemudian pada suatu hari amat jauhlah saya mencari kayu -yang dimaksud daun-daunan untuk makanan ternak. Saya belum lagi pulang pada kedua orang tua itu sampai mereka tertidur. Selanjutnya sayapun terus memerah minuman untuk keduanya itu dan keduanya saya temui telah tidur. Saya enggan untuk membangunkan mereka ataupun memberikan minuman kepada seorang sebelum keduanya, baik pada keluarga atau hamba sahaya. Seterusnya saya tetap dalam keadaan menantikan bangun mereka itu terus-menerus dan gelas itu tetap pula di tangan saya, sehingga fajarpun menyingsinglah, anak-anak kecil sama menangis karena kelaparan dan mereka ini ada di dekat kedua kaki saya. Selanjutnya setelah keduanya bangun lalu mereka minum minumannya. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang sedemikian itu dengan niat benar-benar mengharapkan keridhaanMu, maka lapanglah kesukaran yang sedang kita hadapi dari batu besar yang menutup ini.” Batu besar itu tiba-tiba membuka sedikit, tetapi mereka belum lagi dapat keluar dari gua. Yang lain berkata: “Ya Allah, sesungguhnya saya mempunyai seorang anak paman wanita -jadi sepupu wanita- yang merupakan orang yang tercinta bagiku dari sekalian manusia -dalam sebuah riwayat disebutkan: Saya mencintainya sebagai kecintaan orang-orang lelaki yang amat sangat kepada wanita- kemudian saya menginginkan dirinya, tetapi ia menolak kehendakku itu, sehingga pada suatu tahun ia memperoleh kesukaran. Iapun mendatangi tempatku, lalu saya memberikan seratus duapuluh dinar padanya dengan syarat ia suka menyendiri antara tubuhnya dan antara tubuhku -maksudnya berhubungan intim. Ia berjanji sedemikian itu. Setelah saya dapat menguasai dirinya -dalam sebuah riwayat lain disebutkan: Setelah saya dapat duduk diantara kedua kakinya- sepupuku itu lalu berkata: “Takutlah engkau pada Allah dan jangan membuka cincin -maksudnya cincin di sini adalah kemaluan, maka maksudnya ialah jangan melenyapkan kegadisanku ini- melainkan dengan haknya -yakni dengan perkawinan yang sah-, lalu sayapun meninggalkannya, sedangkan ia adalah yang amat tercinta bagiku dari seluruh manusia dan emas yang saya berikan itu saya biarkan dimilikinya. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang sedemikian dengan niat untuk mengharapkan keridhaanMu, maka lapangkanlah kesukaran yang sedang kita hadapi ini.” Batu besar itu kemudian membuka lagi, hanya saja mereka masih juga belum dapat keluar dari dalamnya. Orang yang ketiga lalu berkata: “Ya Allah, saya mengupah beberapa kaum buruh dan semuanya telah kuberikan upahnya masing-masing, kecuali seorang lelaki. Ia meninggalkan upahnya dan terus pergi. Upahnya itu saya perkembangkan sehingga bertambah banyaklah hartanya tadi. Sesudah beberapa waktu, pada suatu hari ia mendatangi saya, kemudian berkata: Hai hamba Allah, tunaikanlah sekarang upahku yang dulu itu. Saya berkata: Semua yang engkau lihat ini adalah berasal dari hasil upahmu itu, baik yang berupa unta, lembu dan kambing dan juga hamba sahaya. Ia berkata: Hai hamba Allah, janganlah engkau memperolok-olokkan aku. Saya menjawab: Saya tidak memperolok-olokkan engkau. Kemudian orang itupun mengambil segala yang dimilikinya. Semua digiring dan tidak seekorpun yang ditinggalkan. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang sedemikian ini dengan niat mengharapkan keridhaanMu, maka lapangkanlah kita dari kesukaran yang sedang kita hadapi ini.” Batu besar itu lalu membuka lagi dan merekapun keluar dari gua itu. (Muttafaq ‘alaih)
Tambahan:
Ada tiga orang bepergian, mereka terpaksa mencari tempat bermalam hingga mereka berlindung ke dalam goa. Tiba-tiba jatuhlah sebongkah batu besar dari gunung lalu menutup pintu goa itu. Mereka tidak dapat menggesernya karena batu itu adalah batu besar, lalu mereka berpendapat untuk bertawasul kepada Allah –Subḥānahu wa Ta’ālā- dengan amal-amal saleh mereka. Adapun orang pertama menceritakan bahwa ia memiliki dua orang tua yang sudah sepuh. Dia memiliki seekor kambing. Ia keluar pagi-pagi buta untuk menggembalakan kambingnya kemudian pulang sore hari, lalu memerah susu kambing itu dan memberikan untuk kedua orang tuanya –yang sudah sepuh- kemudian ia memberikan sisanya kepada keluarga dan budaknya. Ia berkata: suatu hari aku pergi jauh untuk mencari pepohonan (rumput) untuk kambing yang digembalakan, lantas ia pulang. Kemudian ia mendapati kedua orangtuanya telah tidur. Lalu ia berfikir apakah akan memberi minum keluarga dan budaknya sebelum kedua orangtuanya, ataukah ia menunggu sampai terbit fajar. Maka ia memilih untuk menunggu sampai terbit fajar –sedangkan ia sendiri menunggu orang tuanya bangun-. Tatkala kedua orangtuanya telah bangun dan meminum susu tersebut, ia pun memberi minum keluarga dan budaknya. Kemudian ia berkata, "Ya Allah! Jika aku ikhlas melakukan amalku ini –aku melakukannya karenaMu- maka berikanlah kami jalan keluar dari kesulitan yang kami hadapi, maka bergeserlah batu besar itu, namun mereka belum bisa keluar dari goa itu. Adapun orang kedua: Dia bertawasul kepada Allah -‘Azza wa Jalla- dengan menjaga kehormatan diri, yaitu dahulu dia memiliki seorang sepupu (putri pamannya), ia sangat mencintainya seperti besarnya cinta lelaki kepada wanita, lalu ia menginginkan putri pamannya itu, yakni ia ingin –wal ‘iyāżubillāh- berzina dengannya. Akan tetapi putri pamannya tidak menyetujui keinginannya dan enggan untuk melakukannya. Kemudian suatu saat putri pamannya tersebut tertimpa kefakiran dan kebutuhan yang mendesak, lantas ia terpaksa menyerahkan dirinya untuk berzina karena dalam keadaan darurat. Dan ini tidak diperbolehkan. Akan tetapi, bagaimanapun inilah yang telah terjadi. Lalu putri pamannya tersebut menemuinya. Lantas dia memberikan putri pamannya 120 (seratus dua puluh) dinar agar ia mau menyerahkan diri untuknya. Maka putri pamannya bersedia melakukannya karena sangat butuh dengan uang tersebut dan dalam kondisi darurat. Tatkala dia duduk di hadapan putri pamannya seperti duduknya lelaki yang ingin menggauli istrinya, putri pamannya mengucapkan kalimat yang menakjubkan dan agung ini, “Bertakwalah kepada Allah, dan janganlah memecahkan segel kecuali dengan cara yang hak.” Lantas dia pun langsung berdiri (meninggalkannya) padahal putri pamannya tersebut adalah manusia yang paling ia cintai, namun ia diliputi rasa takut kepada Allah -‘azza wa jalla-, dan dia meninggalkan emas (dinar) yang telah ia berikan untuk putri pamannya tersebut. Kemudian dia berkata, “Ya Allah! Jika aku melakukan ini karena-Mu, maka berikanlah kami jalan keluar dari kesulitan yang kami hadapi, maka bergeserlah batu besar itu, namun mereka belum bisa keluar dari gua itu.” Adapun orang ketiga: Dia bertawasul kepada Allah -Subḥānahu wa Ta’ālā- dengan sifat amanah, berbuat baik, dan keikhlasan di dalam beramal. Dia menyebutkan bahwa dia menyewa beberapa pekerja untuk melakukan suatu pekerjaan. Lalu dia memberikan upah mereka, kecuali satu orang yang meninggalkan upahnya dan belum mengambilnya. Maka orang yang menyewa ini mengembangkan harta (upah) tersebut. Ia berniaga dengannya dengan membeli barang, menjualnya, dan lain sebagainya. Hingga upah tersebut berkembang dan dapat menghasilkan unta, sapi, kambing, budak, dan harta yang sangat banyak. Kemudian suatu saat pekerja tersebut menemuinya, lalu pekerja itu berkata kepadanya, "Wahai hamba Allah, berikanlah upahku." Ia pun menjawab, "Semua yang engkau lihat mulai dari unta, sapi, kambing, dan budak adalah milikmu." Lalu pekerja tersebut berkata, Janganlah menghinaku, upah milikku yang ada padamu jumlahnya sedikit, bagaimana bisa semua yang engkau perlihatkan dari unta, sapi, kambing, dan budak adalah milikku? Janganlah menghinaku. Dia pun menjawab, "Itu semua milikmu". Lalu pekerja itu pun mengambil semuanya dan tidak meninggalkan untuknya (orang yang menyewa) sedikitpun. Kemudian dia berkata, “Ya Allah! Jika aku melakukan ini karena-Mu, maka berikanlah kami jalan keluar dari kesulitan yang kami hadapi. Maka bergeserlah batu besar itu, dan terbukalah pintu goa, lalu mereka berjalan keluar.” Hal itu terjadi karena mereka bertawasul dengan amal saleh yang mereka lakukan ikhlas karena Allah -‘Azza wa Jalla-.
Komentar
Posting Komentar